Peranan Orangtua dalam Pendidikan Sekolah
2 komentar Kamis, April 24, 2008Struktur Keluarga
Keluarga yang terdiri dari suami, isteri dan anak dalam berbagai dimensi mempunyai peran totalitas untuk mewujudkan keseimbangan (equibilirum) tatanan nilai, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Dalam keluarga peran yang sangat signifikan yang dapat dilakukan adalah proses pendidikan bagi anak. Pendidikan dalam keluarga adalah proses pembelajaran dalam upaya pengembangan dan pembentukan karakter diri bagi anak sebagai penerus generasi masa depan bangsa. Metode dan proses pendidikan itu sendiri sangat menentukan keberhasilan tujuan tersebut.
Metode pendidikan di era globalisasi harus mencakup kemungkinan bagi anak untuk mampu membenahi diri dalam rangka meningkatkan kemampuannya dalam berbagai bidang. Sehingga tantangan zaman global dengan perubahan sosial yang begitu cepat dapat terekam dengan peningkatan-peningkatan keilmuan yang lebih spesifik dengan pendekatan komprehensif dalam menerapkan metode dan proses pembelajaran. Jika anak tidak mampu membaca lingkungan sekitarnya ia akan jatuh dalam hal negatif seperti narkoba, pergaulan bebas, hura-hura dan perilaku merusak lainnya.
Ada berbagai teori dan metode pendidikan yang perlu didiskusikan lebih lanjut dan dikembangkan demi tercapainya pendidikan yang lebih baik. Salah satunya adalah dengan mewujudkan arah pendidikan paradigma yang menerapkan sistem pengelolaan pendidikan tripartite (tri pusat pendidikan). Di mana, sekolah, keluarga, dan masyarakat adalah tiga elemen yang tidak bisa dipisahkan dalam proses pendidikan. Jika tiga elemen ini tidak mampu bekerjasama, maka akan lahir berbagai kesulitan untuk mencapai kesuksesan. Sebaliknya, jika pendidikan bertumpu pada tiga elemen ini, maka proses pendidikan dapat terlaksana dengan sempurna.
Dari ketiga elemen tripartite tersebut, keluarga merupakan fokus utama yang harus mendapat perhatian lebih, karena anak lebih banyak berada di rumah daripada ditempat lain. Dalam keluarga pula anak menemukan berbagai pengetahuan yang sangat berhubungan dengan pembentukan karakter dirinya di kemudian hari. Untuk mewujudkan pendidikan yang baik dalam keluarga maka ibu mempunyai peranan yang lebih daripada ayah. Ini bisa dipahami bahwa dari kecil seorang anak biasanya lebih banyak berkomunikasi dengan ibu. Kesempatan ini adalah peluang terbesar bagi seorang ibu untuk membimbing anak-anaknya tentang berbagai hal terutama pedoman nilai-nilai ketauhidan dan moral keagamaan yang harus ditanam sedini mungkin.
Realitas dan fakta dari pentingnya pendidikan dalam keluarga yang dimotori oleh kaum ibu bisa kita lihat dari keberhasilan seorang anak yang bernama Yudistira Virgus, etnis Tiongha, peraih medali emas Olimpiade Fisika Internasional di Korea tahun 2004, tahun 2002 dia meraih peringkat pertama Olimpiade Fisika Nasional di Bali dan tahun 2003 menyabet medali emas Olimpiade Fisika Asia di Thailand. Keunggulan Yudistira sebenarnya sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterapkan dalam keluarga, kita tahu bahwa etnis Tiongha sangat mendukung keberadaan anaknya untuk memperoleh keberhasilan dalam berbagai bidang. Dalam keluarga selalu ditanamkan sikap hemat, menghargai uang, serta menciptakan suasana yang memberi motivasi anak untuk belajar dan bekerja keras demi mencapai prestasi. Menurut ahli sosiologi pendidikan dari Universitas Indonesia Dr Eri Seda mengemukakan bahwa keberhasilan Yudistira tidak terlepas dari pendidikan keluarga yang selalu menumbuhkan nilai-nilai kultur yang sangat mendukung pendidikan dan pertumbuhan mental anak, tanpa dukungan dan pembinaan yang kontinyu dari keluarga terutama para ibu mustahil bagi anak dapat berprestasi secara baik, sebab dukungan dari sekolah dalam memotivasi anak didik sangat lah terbatas.
Anak Perlu Dimotivasi
Proses pendidikan yang berlangsung di sekolah sangatlah terbatas. Keterbatasan ini harus dipahami oleh setiap keluarga dengan mencari solusi yang tepat. Salah satu jalan terbaik adalah bagaimana rumah mampu menjadi lingkungan belajar yang baik bagi anak-anak. Hal ini sangat tergantung pada orang tua khususnya ibu dalam menciptakan suasana tersebut.
Pendidikan dalam keluarga lebih mengarah pada proses pengaturan dan pemberian motivasi bagi anak, bukan pada aspek materi pelajaran sebagaimana yang diajarkan di sekolah. Nilai-nilai yang merupakan karakter dari dalam diri yang harus mampu diserapi dan diimplementasikan oleh anak-anak. Etos kerja, tidak mudah menyerah, dan semangat belajar yang tinggi adalah nilai-nilai yang harus ditanam dalam kepribadian anak.
Pada era pendidikan globalisasi sekarang ini, orang tua tidak tepat lagi untuk menerapakan 'pola pengasuhan yang terlalu menuntut (push parenting). Pola pengasuhan semacam ini bisa dilihat di sekitar kita dan tampak jelas melalui perilaku seperti: (1) mengatur nyaris setiap menit hidup anaknya, dengan kursus-kursus program sosialisasi dan kegiataan 'pengayaan' lainnya; (2) menuntut prestasi tinggi di sekolah dan di berbagai bidang lain nyaris dengan segala cara (emosional, psikologis, fisik, dan dana); (3) menekan anak memilih kursus, pelatihan atau minat lebih untuk tujuan membuat curriculum vitae alias daftar riwayat hidup yang mengesankan, daripada memenuhi rasa ingin tahu yang alamiah dan minat pribadi; (4) mencampuri persahabatan atau hubungan anak dengan guru dan pelatihnya.
Lebih jauh, Kathy Matthews dalam bukunya Anak Sempurna atau Anak Bahagia? Dilema Orangtua Modern, menjelaskan bahwa fenomena pola pengasuhan push parenting yang penuh dengan tuntutan sebetulnya tidak hanya terbatas dalam bentuk-bentuk ekstrem seperti di atas. Tetapi lebih banyak berbentuk pesan-pesan yang kita kirimkan setiap hari ke anak, waktu kita menuntut mereka: Bahwa mereka tidak mampu membuat sendiri pilihan yang bertanggung jawab. Bahwa penampilan lebih penting daripada isi sebenarnya. Bahwa menjalani suatu pengalaman, tidak sepenting mempunyai gelar yang dianggap bergengsi di mata masyarakat. Bahwa kita tidak yakin mereka bisa berhasil tanpa bantuan kita. Penuntutan dan kekhawatiran seperti ini akan terkirim dengan cepat dalam pikiran anak-anak tanpa kita sadari dan tentu saja itu sangat berbahaya bagi mereka. Karena tuntutan tersebut dapat dikatagorikan sebagai kekerasan non fisikal yang mengganggu mental anak dalam belajar. Pola pengasuhan push parenting pada dimensi yang lebih jauh akan mengarah pada kekerasan fisik yang lebih berbahaya bagi anak.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya menjelaskan bahwa kekerasan dalam proses pendidikan bagi anak sangat berbahaya terutama anak-anak kecil, karena dapat menimbulkan kebiasaan buruk dalam diri mereka. Kekerasan akan mencegah perkembangan pribadi anak dan membuka jalan kearah kemalasan, penipuan serta kelicikan. Misalnya, tindak tanduk dan ucapannya berbeda dengan yang ada dalam pikirannya, karena takut akan mendapat perlakuaan kasar bila mereka mengucapkan yang sebenarnya. Kecenderungan ini akan menjadi kebiasaan dan watak yang tertanam di alam bawah sadar anak, pada gilirannya merusak karakter diri anak yang seharusnya dibina melalui hubungan sosial yang baik. Pada akhirnya anak enggan memupuk sifat keutamaan dan keluhuran moral dan tidak mau berusaha menjadi manusia yang sempurna.
Eri Seda memberikan pilihan kepada orangtua bahwa metode pendidikan terbaik yang perlu diterapkan dalam keluarga adalah dengan menempuh jalan tengah. Dalam mendidik anak, menurut Eri, sebaiknya tidak ditempuh cara-cara ekstrem seperti terlalu memberikan kebebasan kepada anak, atau sebaliknya terlalu keras, orangtua terlalu mendorong anak, menekan anak untuk belajar, dan membebani anak dengan berbagai macam les sampai pada tingkat tidak bisa menikmati lagi, hasilnya juga tidak akan beres. Sebaliknya dalam masa pertumbuhan, anak perlu tetap dibimbing dan diberi rambu-rambu.
Dalam pendidikan keluarga, metode tersebut bisa diterapkan dengan memberikan arahan dan bimbingan dengan penegakan disiplin yang saling memahami antara anak dan orang tua, tidak ada pemaksaan dan kekerasan dalam proses mendidik anak. Mereka perlu diberi kebebasan dengan jadwal yang telah mereka pilih asal tujuannya tercapai. Misalnya, bahwa seorang ibu tidak perlu menentukan jadwal yang ketat kepada anak-anak kapan mengulang pelajaran ketika di rumah, tetapi biar mereka sendiri yang mengatur jadwal tersebut, baik belajar sore hari ataupun malam hari. Proses ini dapat membuat anak lebih bertanggungjawab terhadap berbagai keputusan yang dia lakukan, karena bukan suatu pemaksaan dari orang tua dan anak akan mengambil tanggungjawab tersebut karena dia sendiri yang memutuskan, orang tua hanya perlu membimbing dan memberikan pengarahan.
Di samping itu, proses pemberian motivasi bagi anak-anak bisa dilakukan dengan hal-hal sepele. Misalnya ketika anak sedang belajar ibu bisa membuat makanan ringan kepada mereka seperti pisang goreng atau secangkir teh hangat. Hal-hal seperti ini biasanya tidak terpikirkan oleh seorang ibu, padahal banyak orang-orang yang berhasil bercerita bahwa ada motivasi dan semangat yang tinggi yang tumbuh dalam diri mereka ketika ada perhatian dari ibu dalam hal-hal kecil tadi.
Pengalaman Orangtua dari Memperhatikan Perkembangan Anak
Zaman memang berubah, pengaruh di luar rumah dan sekolah sangat menentukan perkembangan anak. Televisi dengan informasi dan tontonan 24 jam tersedia bahkan di dalam kamar tidur. Perubahan itu harus disikapi oleh orangtua dengan bijak dan memberikan perhatian yang lebih besar kepada anak. Peran ini tidak bisa dialihkan ke sekolah, pembantu, atau pengasuh anak. Karena itu orangtua harus mempersiapkan diri secara baik dan mengedepankan metode-metode pendidikan yang humanis dengan menerapkan konsep keluarga sakinah (harmoni).
Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh orangtua untuk mewujudkan pendidikan keluarga dalam tataran konsep keluarga sakinah. Di antaranya; Pertama, Keteladanan. Konsep keteladanan harus betul-betul dapat diterapkan secara baik, orangtua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam segala hal. Orangtua harus mampu menerapkan nilai-nilai agama dalam keluarga seperti shalat berjamaah, kedisiplinan, pembagian tugas, kejujuran, dan peduli pada tetangga. Nilai-nilai seperti ini apabila dikembangkan secara baik akan membekas pada jiwa anak. Jika konsep moral yang kita bangun baik, maka akan menumbuhkan pohon yang baik dan buah yang ranum. Karena anak biasanya sangat memperhatikan perilaku, ucapan dan tindakan dari orangtuanya dan akan dijadikan model bagi perilakunya kelak.
Kedua, Keperdulian. Sikap ini sangat ditentukan bagaimana orangtua dituntut mampu membagi waktu untuk anak-anaknya. Antara suami dan isteri perlu suatu kejelasan sikap dan komitmen yang tinggi untuk saling berbagi dalam mendampingi anak, sehingga anak merasa orangtua sangat peduli pada dirinya. Biasanya, isteri memegang peran yang sangat dominan dalam mengakses berbagai perilaku anak, karena mempunyai waktu yang lebih banyak untuk membangun komunikasi yang efektif dengan anak. Konsep ini akan menumbuhkan sikap harmonis dan anak akan mampu mengembangkan dirinya dengan pola-pola yang sangat menyenangkan karena ia merasa tidak diabaikan. Dari sini anak akan belajar bagaimana menumbuhkan sikap tanggungjawab, disiplin, harmonisasi, dan berbagai sikap-sikap positif lainnya yang sangat berguna dalam membentuk karakteri dirinya.
Ketiga, Meningkatkan SDM. Kesempatan untuk meningkatkan kemampuan diri bagi orangtua merupakan suatu hal yang tidak bisa diabaikan. Terjadinya perubahan yang begitu cepat dalam pergaulan sosial membutuhkan pemahaman baru bagi orangtua dalam mendidik anak. Suami harus memberi peluang yang besar kepada isteri untuk dapat mengakses pendidikan yang lebih tinggi, karena isteri yang sangat memungkinkan untuk mengupayakan model pendidikan yang baik dalam keluarga. Di samping itu, biasanya isteri mempunyai waktu yang lebih dengan anak-anaknya ketimbang seorang suami. Oleh sebab itu, tanpa pengetahuan yang cukup seorang isteri akan sangat kewalahan dalam menerapkan model pendidikan yang baik dalam lingkungan keluarga.
Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana Cina telah mengembangkan metode pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kualitas suami isteri dalam menerapkan .model pendidikan dalam keluarga. Saat ini di China terdapat lebih 300 ribu sekolah yang dikelola oleh pakar pendidikan untuk memberi panduan dan pembelajaran kepada suami isteri dalam rangka menerapkan metode yang baik dalam pengelolaan anak. Proses pembinaan yang baik bagi anak dalam keluarga telah menempatkan Cina sebagai negara yang sangat diperhitungkan oleh dunia dalam percaturan global, karena mereka mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang luar biasa dalam segala bidang. Salah satu kuncinya adalah keinginan yang sangat kuat dari rakyat Cina untuk mewujudkan pendidikan anaknya secara benar yaitu dimulai dari pendidikan keluarga.
Lalu, bagaimana dengan kita sekarang, sebagai orang Aceh yang menganut nilai keislaman, di mana agama menyerukan kepada kita untuk selalu membina pendidikan yang baik dalam keluarga. Sudahkah kita melaksanakan ajaran tersebut secara sempurna? Sudahkah kita menunjukkan sikap empati dan saling menghormati antara ayah, ibu dan anak untuk terciptanya lingkungan keluarga yang mendukung pendidikan anak? Sudahkah kita mewujudkan lingkungan keluarga yang dapat memotivasi anak untuk belajar? Sudah pulakah kita mendukung dan membimbing mereka secara tulus, ikhlas, dan tidak ada tuntutan? Atau dapatkah kita membanggakan anak kita seperti Yudistira Virgus? Dan masih sangat banyak pertanyaan lain yang bisa dikembangkan, kemudian direnungi dan dijawab dengan hati nurani. Mari kita memulai dengan niat yang tulus untuk menciptakan generasi kuat yang mempunyai moral yang luhur dan wawasan yang tinggi serta semangat pantang menyerah.
Wallahu’alam bissawab.
read more “Peranan Orangtua dalam Pendidikan Sekolah”
Keluarga yang terdiri dari suami, isteri dan anak dalam berbagai dimensi mempunyai peran totalitas untuk mewujudkan keseimbangan (equibilirum) tatanan nilai, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Dalam keluarga peran yang sangat signifikan yang dapat dilakukan adalah proses pendidikan bagi anak. Pendidikan dalam keluarga adalah proses pembelajaran dalam upaya pengembangan dan pembentukan karakter diri bagi anak sebagai penerus generasi masa depan bangsa. Metode dan proses pendidikan itu sendiri sangat menentukan keberhasilan tujuan tersebut.
Metode pendidikan di era globalisasi harus mencakup kemungkinan bagi anak untuk mampu membenahi diri dalam rangka meningkatkan kemampuannya dalam berbagai bidang. Sehingga tantangan zaman global dengan perubahan sosial yang begitu cepat dapat terekam dengan peningkatan-peningkatan keilmuan yang lebih spesifik dengan pendekatan komprehensif dalam menerapkan metode dan proses pembelajaran. Jika anak tidak mampu membaca lingkungan sekitarnya ia akan jatuh dalam hal negatif seperti narkoba, pergaulan bebas, hura-hura dan perilaku merusak lainnya.
Ada berbagai teori dan metode pendidikan yang perlu didiskusikan lebih lanjut dan dikembangkan demi tercapainya pendidikan yang lebih baik. Salah satunya adalah dengan mewujudkan arah pendidikan paradigma yang menerapkan sistem pengelolaan pendidikan tripartite (tri pusat pendidikan). Di mana, sekolah, keluarga, dan masyarakat adalah tiga elemen yang tidak bisa dipisahkan dalam proses pendidikan. Jika tiga elemen ini tidak mampu bekerjasama, maka akan lahir berbagai kesulitan untuk mencapai kesuksesan. Sebaliknya, jika pendidikan bertumpu pada tiga elemen ini, maka proses pendidikan dapat terlaksana dengan sempurna.
Dari ketiga elemen tripartite tersebut, keluarga merupakan fokus utama yang harus mendapat perhatian lebih, karena anak lebih banyak berada di rumah daripada ditempat lain. Dalam keluarga pula anak menemukan berbagai pengetahuan yang sangat berhubungan dengan pembentukan karakter dirinya di kemudian hari. Untuk mewujudkan pendidikan yang baik dalam keluarga maka ibu mempunyai peranan yang lebih daripada ayah. Ini bisa dipahami bahwa dari kecil seorang anak biasanya lebih banyak berkomunikasi dengan ibu. Kesempatan ini adalah peluang terbesar bagi seorang ibu untuk membimbing anak-anaknya tentang berbagai hal terutama pedoman nilai-nilai ketauhidan dan moral keagamaan yang harus ditanam sedini mungkin.
Realitas dan fakta dari pentingnya pendidikan dalam keluarga yang dimotori oleh kaum ibu bisa kita lihat dari keberhasilan seorang anak yang bernama Yudistira Virgus, etnis Tiongha, peraih medali emas Olimpiade Fisika Internasional di Korea tahun 2004, tahun 2002 dia meraih peringkat pertama Olimpiade Fisika Nasional di Bali dan tahun 2003 menyabet medali emas Olimpiade Fisika Asia di Thailand. Keunggulan Yudistira sebenarnya sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterapkan dalam keluarga, kita tahu bahwa etnis Tiongha sangat mendukung keberadaan anaknya untuk memperoleh keberhasilan dalam berbagai bidang. Dalam keluarga selalu ditanamkan sikap hemat, menghargai uang, serta menciptakan suasana yang memberi motivasi anak untuk belajar dan bekerja keras demi mencapai prestasi. Menurut ahli sosiologi pendidikan dari Universitas Indonesia Dr Eri Seda mengemukakan bahwa keberhasilan Yudistira tidak terlepas dari pendidikan keluarga yang selalu menumbuhkan nilai-nilai kultur yang sangat mendukung pendidikan dan pertumbuhan mental anak, tanpa dukungan dan pembinaan yang kontinyu dari keluarga terutama para ibu mustahil bagi anak dapat berprestasi secara baik, sebab dukungan dari sekolah dalam memotivasi anak didik sangat lah terbatas.
Anak Perlu Dimotivasi
Proses pendidikan yang berlangsung di sekolah sangatlah terbatas. Keterbatasan ini harus dipahami oleh setiap keluarga dengan mencari solusi yang tepat. Salah satu jalan terbaik adalah bagaimana rumah mampu menjadi lingkungan belajar yang baik bagi anak-anak. Hal ini sangat tergantung pada orang tua khususnya ibu dalam menciptakan suasana tersebut.
Pendidikan dalam keluarga lebih mengarah pada proses pengaturan dan pemberian motivasi bagi anak, bukan pada aspek materi pelajaran sebagaimana yang diajarkan di sekolah. Nilai-nilai yang merupakan karakter dari dalam diri yang harus mampu diserapi dan diimplementasikan oleh anak-anak. Etos kerja, tidak mudah menyerah, dan semangat belajar yang tinggi adalah nilai-nilai yang harus ditanam dalam kepribadian anak.
Pada era pendidikan globalisasi sekarang ini, orang tua tidak tepat lagi untuk menerapakan 'pola pengasuhan yang terlalu menuntut (push parenting). Pola pengasuhan semacam ini bisa dilihat di sekitar kita dan tampak jelas melalui perilaku seperti: (1) mengatur nyaris setiap menit hidup anaknya, dengan kursus-kursus program sosialisasi dan kegiataan 'pengayaan' lainnya; (2) menuntut prestasi tinggi di sekolah dan di berbagai bidang lain nyaris dengan segala cara (emosional, psikologis, fisik, dan dana); (3) menekan anak memilih kursus, pelatihan atau minat lebih untuk tujuan membuat curriculum vitae alias daftar riwayat hidup yang mengesankan, daripada memenuhi rasa ingin tahu yang alamiah dan minat pribadi; (4) mencampuri persahabatan atau hubungan anak dengan guru dan pelatihnya.
Lebih jauh, Kathy Matthews dalam bukunya Anak Sempurna atau Anak Bahagia? Dilema Orangtua Modern, menjelaskan bahwa fenomena pola pengasuhan push parenting yang penuh dengan tuntutan sebetulnya tidak hanya terbatas dalam bentuk-bentuk ekstrem seperti di atas. Tetapi lebih banyak berbentuk pesan-pesan yang kita kirimkan setiap hari ke anak, waktu kita menuntut mereka: Bahwa mereka tidak mampu membuat sendiri pilihan yang bertanggung jawab. Bahwa penampilan lebih penting daripada isi sebenarnya. Bahwa menjalani suatu pengalaman, tidak sepenting mempunyai gelar yang dianggap bergengsi di mata masyarakat. Bahwa kita tidak yakin mereka bisa berhasil tanpa bantuan kita. Penuntutan dan kekhawatiran seperti ini akan terkirim dengan cepat dalam pikiran anak-anak tanpa kita sadari dan tentu saja itu sangat berbahaya bagi mereka. Karena tuntutan tersebut dapat dikatagorikan sebagai kekerasan non fisikal yang mengganggu mental anak dalam belajar. Pola pengasuhan push parenting pada dimensi yang lebih jauh akan mengarah pada kekerasan fisik yang lebih berbahaya bagi anak.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya menjelaskan bahwa kekerasan dalam proses pendidikan bagi anak sangat berbahaya terutama anak-anak kecil, karena dapat menimbulkan kebiasaan buruk dalam diri mereka. Kekerasan akan mencegah perkembangan pribadi anak dan membuka jalan kearah kemalasan, penipuan serta kelicikan. Misalnya, tindak tanduk dan ucapannya berbeda dengan yang ada dalam pikirannya, karena takut akan mendapat perlakuaan kasar bila mereka mengucapkan yang sebenarnya. Kecenderungan ini akan menjadi kebiasaan dan watak yang tertanam di alam bawah sadar anak, pada gilirannya merusak karakter diri anak yang seharusnya dibina melalui hubungan sosial yang baik. Pada akhirnya anak enggan memupuk sifat keutamaan dan keluhuran moral dan tidak mau berusaha menjadi manusia yang sempurna.
Eri Seda memberikan pilihan kepada orangtua bahwa metode pendidikan terbaik yang perlu diterapkan dalam keluarga adalah dengan menempuh jalan tengah. Dalam mendidik anak, menurut Eri, sebaiknya tidak ditempuh cara-cara ekstrem seperti terlalu memberikan kebebasan kepada anak, atau sebaliknya terlalu keras, orangtua terlalu mendorong anak, menekan anak untuk belajar, dan membebani anak dengan berbagai macam les sampai pada tingkat tidak bisa menikmati lagi, hasilnya juga tidak akan beres. Sebaliknya dalam masa pertumbuhan, anak perlu tetap dibimbing dan diberi rambu-rambu.
Dalam pendidikan keluarga, metode tersebut bisa diterapkan dengan memberikan arahan dan bimbingan dengan penegakan disiplin yang saling memahami antara anak dan orang tua, tidak ada pemaksaan dan kekerasan dalam proses mendidik anak. Mereka perlu diberi kebebasan dengan jadwal yang telah mereka pilih asal tujuannya tercapai. Misalnya, bahwa seorang ibu tidak perlu menentukan jadwal yang ketat kepada anak-anak kapan mengulang pelajaran ketika di rumah, tetapi biar mereka sendiri yang mengatur jadwal tersebut, baik belajar sore hari ataupun malam hari. Proses ini dapat membuat anak lebih bertanggungjawab terhadap berbagai keputusan yang dia lakukan, karena bukan suatu pemaksaan dari orang tua dan anak akan mengambil tanggungjawab tersebut karena dia sendiri yang memutuskan, orang tua hanya perlu membimbing dan memberikan pengarahan.
Di samping itu, proses pemberian motivasi bagi anak-anak bisa dilakukan dengan hal-hal sepele. Misalnya ketika anak sedang belajar ibu bisa membuat makanan ringan kepada mereka seperti pisang goreng atau secangkir teh hangat. Hal-hal seperti ini biasanya tidak terpikirkan oleh seorang ibu, padahal banyak orang-orang yang berhasil bercerita bahwa ada motivasi dan semangat yang tinggi yang tumbuh dalam diri mereka ketika ada perhatian dari ibu dalam hal-hal kecil tadi.
Pengalaman Orangtua dari Memperhatikan Perkembangan Anak
Zaman memang berubah, pengaruh di luar rumah dan sekolah sangat menentukan perkembangan anak. Televisi dengan informasi dan tontonan 24 jam tersedia bahkan di dalam kamar tidur. Perubahan itu harus disikapi oleh orangtua dengan bijak dan memberikan perhatian yang lebih besar kepada anak. Peran ini tidak bisa dialihkan ke sekolah, pembantu, atau pengasuh anak. Karena itu orangtua harus mempersiapkan diri secara baik dan mengedepankan metode-metode pendidikan yang humanis dengan menerapkan konsep keluarga sakinah (harmoni).
Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh orangtua untuk mewujudkan pendidikan keluarga dalam tataran konsep keluarga sakinah. Di antaranya; Pertama, Keteladanan. Konsep keteladanan harus betul-betul dapat diterapkan secara baik, orangtua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam segala hal. Orangtua harus mampu menerapkan nilai-nilai agama dalam keluarga seperti shalat berjamaah, kedisiplinan, pembagian tugas, kejujuran, dan peduli pada tetangga. Nilai-nilai seperti ini apabila dikembangkan secara baik akan membekas pada jiwa anak. Jika konsep moral yang kita bangun baik, maka akan menumbuhkan pohon yang baik dan buah yang ranum. Karena anak biasanya sangat memperhatikan perilaku, ucapan dan tindakan dari orangtuanya dan akan dijadikan model bagi perilakunya kelak.
Kedua, Keperdulian. Sikap ini sangat ditentukan bagaimana orangtua dituntut mampu membagi waktu untuk anak-anaknya. Antara suami dan isteri perlu suatu kejelasan sikap dan komitmen yang tinggi untuk saling berbagi dalam mendampingi anak, sehingga anak merasa orangtua sangat peduli pada dirinya. Biasanya, isteri memegang peran yang sangat dominan dalam mengakses berbagai perilaku anak, karena mempunyai waktu yang lebih banyak untuk membangun komunikasi yang efektif dengan anak. Konsep ini akan menumbuhkan sikap harmonis dan anak akan mampu mengembangkan dirinya dengan pola-pola yang sangat menyenangkan karena ia merasa tidak diabaikan. Dari sini anak akan belajar bagaimana menumbuhkan sikap tanggungjawab, disiplin, harmonisasi, dan berbagai sikap-sikap positif lainnya yang sangat berguna dalam membentuk karakteri dirinya.
Ketiga, Meningkatkan SDM. Kesempatan untuk meningkatkan kemampuan diri bagi orangtua merupakan suatu hal yang tidak bisa diabaikan. Terjadinya perubahan yang begitu cepat dalam pergaulan sosial membutuhkan pemahaman baru bagi orangtua dalam mendidik anak. Suami harus memberi peluang yang besar kepada isteri untuk dapat mengakses pendidikan yang lebih tinggi, karena isteri yang sangat memungkinkan untuk mengupayakan model pendidikan yang baik dalam keluarga. Di samping itu, biasanya isteri mempunyai waktu yang lebih dengan anak-anaknya ketimbang seorang suami. Oleh sebab itu, tanpa pengetahuan yang cukup seorang isteri akan sangat kewalahan dalam menerapkan model pendidikan yang baik dalam lingkungan keluarga.
Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana Cina telah mengembangkan metode pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kualitas suami isteri dalam menerapkan .model pendidikan dalam keluarga. Saat ini di China terdapat lebih 300 ribu sekolah yang dikelola oleh pakar pendidikan untuk memberi panduan dan pembelajaran kepada suami isteri dalam rangka menerapkan metode yang baik dalam pengelolaan anak. Proses pembinaan yang baik bagi anak dalam keluarga telah menempatkan Cina sebagai negara yang sangat diperhitungkan oleh dunia dalam percaturan global, karena mereka mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang luar biasa dalam segala bidang. Salah satu kuncinya adalah keinginan yang sangat kuat dari rakyat Cina untuk mewujudkan pendidikan anaknya secara benar yaitu dimulai dari pendidikan keluarga.
Lalu, bagaimana dengan kita sekarang, sebagai orang Aceh yang menganut nilai keislaman, di mana agama menyerukan kepada kita untuk selalu membina pendidikan yang baik dalam keluarga. Sudahkah kita melaksanakan ajaran tersebut secara sempurna? Sudahkah kita menunjukkan sikap empati dan saling menghormati antara ayah, ibu dan anak untuk terciptanya lingkungan keluarga yang mendukung pendidikan anak? Sudahkah kita mewujudkan lingkungan keluarga yang dapat memotivasi anak untuk belajar? Sudah pulakah kita mendukung dan membimbing mereka secara tulus, ikhlas, dan tidak ada tuntutan? Atau dapatkah kita membanggakan anak kita seperti Yudistira Virgus? Dan masih sangat banyak pertanyaan lain yang bisa dikembangkan, kemudian direnungi dan dijawab dengan hati nurani. Mari kita memulai dengan niat yang tulus untuk menciptakan generasi kuat yang mempunyai moral yang luhur dan wawasan yang tinggi serta semangat pantang menyerah.
Wallahu’alam bissawab.
Langganan:
Postingan (Atom)